Di suatu hari, ketika kami dan banyak warga lain antre untuk pemotretan program E-KTP. Pak RT kami yang gagah perkasa yang juga merupakan tokoh masyarakat di desa kami, telah selesai melakukan pemotretan. Dengan langkah gagah, pak RT beserta istri dan anaknya melenggang dan tersenyum kepada kami dan warga yang lain, “Kami duluan ya” sapanya dengan ramah. Aku dan istriku tersenyum, kemudian aku berbisik kepada istriku “wah hebat pak RT ya, dia datang lebih awal dari kita, hingga tak perlu mengantre lebih lama”. Istriku hanya tersenyum, dan mengiyakan apa yang kukatakan. Satu demi satu antrean di panggil, kemudian di panggil nama pak RT kami. Semua terdiam, dan dipanggil kembali. Salah satu warga kemudian menelepon pak RT. “Pak RT, sudah foto tadi pak, dia tadi langsung menuju ruang foto, dan tidak ikut antri disini”, demikian penjelasan warga yang menelepon pak RT. Aduh, salah penilaianku tentang pak RT, ternyata dia mengambil jalan pintas. Dengan koneksi dan ketokohannya, dia memanfaatkan untuk tidak ikut mengantri dan berpeluh seperti kami dan warga yang lain.
Aku, tidak iri, karena aku harus mengantri lama untuk foto di program E-KTP. Karena aku masih bisa mengobrol dan bertegur sapa dengan warga yang lain. Karena kesempatan mengobrol dengan warga lain merupakan hal yang mahal bagiku, bukan sok sibuk. Tetapi bersama istri yang juga bekerja, mengurus tiga orang anak, tanpa pembantu dan televisi. Membutuhkan energi yang cukup besar untuk membuat anak anak tumbuh dengan baik. Kembali ke masalah pak RT, aku jadi berfikir apa yang ia contohkan untuk anaknya, ketika dengan koneksi dan jabatannya, semua bisa dipermudah. Aku memang belum menjadi orang tua yang ideal. Tetapi aku sadar bahwa apa yang aku perbuat pasti akan di contoh oleh anak anaku. Bagaimana aku berusaha mengucapakan kata yang positif, berdisiplin dengan aturan dan ibadah, bahkan menunjukan kasih sayang dengan mereka, serta mengenalkan perbedaan dan menyikapinya.
Berapa banyak cerita di koran, surat kabar, berita di radio, televisi, media online. Tentang anak orang berpengaruh, berharta, berpangkat yang kemudian berperilaku seolah olah dialah yang berpengaruh, berharta dan berpangkat. Kembali kepada pak RT ku yang gagah perkasa tadi, apakah ini salah orang tua atau anaknya?
Dalam satu riwayat di ceritakan, khalifah Umar bin Abdul Aziz, pada suatu malam sedang mengerjakan tugas kerajaan di ruang kerjanya. Kemudian datanglah anaknya hendak menyampaikan suatu perkara. “Perkara yang kau sampaikan, menyangkut masalah negara atau pribadi (keluarga)” tanya sang Khalifah. “ Ini masalah pribadi (keluarga), wahai Ayahku” Jawab sang putra. Kemudian khalifah Umar, mematikan lampu minyak yang dia pakai untuk mengerjakan tugas negara dan berkata “Baiklah, aku matikan lampu ini, karena ini dibiayahi oleh negara,sekarang ceritakan perkara pribadimu”.
Cerita dalam riwayat tadi, tentu merupakan hal yang langka terjadi di negeri Indonesia tercinta ini. Apalagi dikehidupan sekarang, semakin banyak orang yang berpengaruh, berharta dan berpangkat menggunakannya untuk kepentingannya sendiri, seolah olah itu adalah keistimewaan yang harus didapatnya. Karena aku anggota DPR maka aku harus mendapat tempat (gedung) yang istimewa, karena aku pimpinan maka aku mendapat kendaraan (mobil) yang istimewa. Karena aku pak RT yang gagah perkasa maka aku harus istimewa (tidak perlu antri dan berpeluh seperti orang yang antre raskin). Terus istri dan anaknya juga harus di istimewakan, kalau perlu seluruh keluarga dan kerabatnya harus mendapat fasilitas yang istimewa.
Generasi seperti inikah yang sedang kita bangun di negeri Indonesia tercinta ini. Generasi yang merasa berpengaruh, berharta dan berpangkat. Generasi yang merasa paling dan harus di istimewakan lebih dari orang lain. Generasi yang memuja pengaruh, harta dan pangkat. Generasi yang merendahkan martabat orang lain dengan penuh kesadaran.