Senin, 02 Januari 2012

E-KTP dan Budaya Contoh

Di suatu hari, ketika kami dan banyak warga lain antre untuk pemotretan program E-KTP. Pak RT kami yang gagah perkasa yang juga merupakan tokoh masyarakat di desa kami, telah selesai melakukan pemotretan. Dengan langkah gagah, pak RT beserta istri dan anaknya melenggang dan tersenyum kepada kami dan warga yang lain, “Kami duluan ya” sapanya dengan ramah. Aku dan istriku tersenyum, kemudian aku berbisik kepada istriku “wah hebat pak RT ya, dia datang lebih awal dari kita, hingga tak perlu mengantre lebih lama”. Istriku hanya tersenyum, dan mengiyakan apa yang kukatakan. Satu demi satu antrean di panggil, kemudian di panggil nama pak RT kami. Semua terdiam, dan dipanggil kembali. Salah satu warga kemudian menelepon pak RT. “Pak RT, sudah foto tadi pak, dia tadi langsung menuju ruang foto, dan tidak ikut antri disini”, demikian penjelasan warga yang menelepon pak RT. Aduh, salah penilaianku tentang pak RT, ternyata dia mengambil jalan pintas. Dengan koneksi dan ketokohannya, dia memanfaatkan untuk tidak ikut mengantri dan berpeluh seperti kami dan warga yang lain.

Aku, tidak iri, karena aku harus mengantri lama untuk foto di program E-KTP. Karena aku masih bisa mengobrol dan bertegur sapa dengan warga yang lain. Karena kesempatan mengobrol dengan warga lain merupakan hal yang mahal bagiku, bukan sok sibuk. Tetapi bersama istri yang juga bekerja, mengurus tiga orang anak, tanpa pembantu dan televisi. Membutuhkan energi yang cukup besar untuk membuat anak anak tumbuh dengan baik. Kembali ke masalah pak RT, aku jadi berfikir apa yang ia contohkan untuk anaknya, ketika dengan koneksi dan jabatannya, semua bisa dipermudah. Aku memang belum menjadi orang tua yang ideal. Tetapi aku sadar bahwa apa yang aku perbuat pasti akan di contoh oleh anak anaku. Bagaimana aku berusaha mengucapakan kata yang positif, berdisiplin dengan aturan dan ibadah, bahkan menunjukan kasih sayang dengan mereka, serta mengenalkan perbedaan dan menyikapinya.

Berapa banyak cerita di koran, surat kabar, berita di radio, televisi, media online. Tentang anak orang berpengaruh, berharta, berpangkat yang kemudian berperilaku seolah olah dialah yang berpengaruh, berharta dan berpangkat. Kembali kepada pak RT ku yang gagah perkasa tadi, apakah ini salah orang tua atau anaknya?

Dalam satu riwayat di ceritakan, khalifah Umar bin Abdul Aziz, pada suatu malam sedang mengerjakan tugas kerajaan di ruang kerjanya. Kemudian datanglah anaknya hendak menyampaikan suatu perkara. “Perkara yang kau sampaikan, menyangkut masalah negara atau pribadi (keluarga)” tanya sang Khalifah. “ Ini masalah pribadi (keluarga), wahai Ayahku” Jawab sang putra. Kemudian khalifah Umar, mematikan lampu minyak yang dia pakai untuk mengerjakan tugas negara dan berkata “Baiklah, aku matikan lampu ini, karena ini dibiayahi oleh negara,sekarang ceritakan perkara pribadimu”.

Cerita dalam riwayat tadi, tentu merupakan hal yang langka terjadi di negeri Indonesia tercinta ini. Apalagi dikehidupan sekarang, semakin banyak orang yang berpengaruh, berharta dan berpangkat menggunakannya untuk kepentingannya sendiri, seolah olah itu adalah keistimewaan yang harus didapatnya. Karena aku anggota DPR maka aku harus mendapat tempat (gedung) yang istimewa, karena aku pimpinan maka aku mendapat kendaraan (mobil) yang istimewa. Karena aku pak RT yang gagah perkasa maka aku harus istimewa (tidak perlu antri dan berpeluh seperti orang yang antre raskin). Terus istri dan anaknya juga harus di istimewakan, kalau perlu seluruh keluarga dan kerabatnya harus mendapat fasilitas yang istimewa.

Generasi seperti inikah yang sedang kita bangun di negeri Indonesia tercinta ini. Generasi yang merasa berpengaruh, berharta dan berpangkat. Generasi yang merasa paling dan harus di istimewakan lebih dari orang lain. Generasi yang memuja pengaruh, harta dan pangkat. Generasi yang merendahkan martabat orang lain dengan penuh kesadaran.


Senin, 19 Desember 2011

Rasa Indonesia

Dalam sebuah diskusi tahun 1999, seorang peneliti asing ingin mengetahui, sperti apa sih teater Indonesia itu? Berbagai teori tentang ilmu pertunjukan di beberkan, baik yang dari barat maupun dari timur, yang realis samapi absurd juga dikhotbahkan. Tetapi tidak juga ketemu, teater di Indonesia yang seperti apa. Diakhir sesi, seorang teman (arif kriying hidayat) mengacungkan jarinya dan dia mulai berkhotbah juga. " Kalau anda mencari tahu teater di Indonesia, anda harusnya bertanya dulu, Gamelan itu dari Indonesia ? Indonesianya ada di Jawa? Jawanya itu ada di Yogyakarta? Yogyakartanya ada di Bantul? Bantulnya ada di Bangun Jiwo? Pak Ponimin yang membuat gamelan itu".

Dari cerita diatas, kadang kita sering menyamaratakan segala sesuatu dengan teori yang sudah mapan. Seolah olah kita bisa membagi sesuatu dalam kelompok, kelas bahkan mengkotaknya sehingga tafsir lain adalah kesesatan. Begitu pula dalam konteks tentang INDONESIA, kalau melanjutkan cerita tentang gamelan tadi, gamelan juga terbagi dalam 2 irama, slendro dan pelog. Diwilayah di luar jogja juga punya gamelan, di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, bahkan mungkin Malasyia.

Kamis, 01 Desember 2011

Perjalanan Haji, Perjalanan calon Politikus

Musim Haji memang telah lama berlalu, tidak ada lagi undangan dan permintaan doa restu dari saudara, kerabat dan sahabat. Semua memang tidak bisa aku datangi dan kunjungi. Namun doa selalu aku berikan dengan tulus, karena juga berharap dapat menyusul pergi ke Baitullah.

Sejenak berlalu dari keinginan dan rasa iriku, kenapa aku belum bisa datang memenuhi panggilan-Nya ke rumahnya. Ingat pada masa pemilihan legislatif di negeri ini. Banyak saudara, kerabat dan sahabat yang juga minta doa restu untuk maju menjadi anggota dewan. Doa tulus juga aku berikan, namun tidak dengan rasa iri, karena memang aku tidak tertarik untuk menjadi anggota dewan. Banyak alasan mestinya, tapi tidak pentinglah. Setelah proses pemilu selesai, ada satu dua saudara, kerabat dan sahabat yang berhasil mewujudkan impiannya jadi anggota dewan yang terhormat. Tapi aku lihat sampai sekarang mereka belum mengucapkan terimakasih apalagi kerja nyata. Bukan kepadaku, karena siapa sih aku. Kepada orang orang yang telah memilihnya dan memberikan doa restunya. Ah... apakah kalau sudah diatas juga lupa, karena menjadi yang terpilih.

Kembali ke musim haji yang juga telah berlalu. Seminggu yang lalu aku didatangi oleh saudaraku yang baru pulang haji, sambil membawa oleh oleh dan berterimakasih atas doanya. Sedangkan Saudara, Kerabat dan Saudara yang lain kenapa tidak berbuat hal yang sama. Apa mereka menjadi lupa padaku dan orang lain yang juga pernah mereka mintai doa restunya. Ah tentunya itu tidak penting ya. Karena menurut beberapa riwayat yang aku baca. Naik Haji adalah rukun yang kelima dalam Islam, sehingga mestinya empat yang terdahulu sudah dilakukan dengan baik. Syahadat, Sholat, Puasa dan Zakat yang yang memang belum aku lakukan dengan benar, sehingga Haji pun seolah jauh dari jangkauanku.

Untuk semua Saudara, Kerabat dan Sahabat yang telah menunaikan ibadah haji, semoga menjadi haji Mabrur. Seperti juga para anggota dewan ketika menjadi yang terpilih, buktikan semuanya dengan kerja nyata untuk membuat masyarakat menjadi lebih baik, dan ANDA semuanya menjadi lebih berguna.


Pleret, 14 Desember 2011